23.5 C
Tulungagung
Friday, June 9, 2023

Mengulik Rahasia Eksitensi Produksi Gula Kelapa di Desa Dayu Nglegok

KABUPATEN BLITAR – Gula kelapa menjadi produk andalan sebagian warga Desa Dayu, Kecamatan Nglegok. Salah satunya adalah Riska Lutfina. Bersama keluarga, dia mengelola pabrik gula kelapa yang sudah berjalan kurang lebih 20 tahun.

Memasuki ruang produksi, aroma khas gula kelapa langsung tercium. Beberapa orang tampak sibuk menuangkan adonan gula kelapa yang masih panas itu ke cetakan. Uap mengepul memenuhi ruang produksi berukuran sekitar 4×5 meter itu.

Ada empat ruang produksi kelapa. Semuanya dilengkapi mesin pengaduk adonan. Pabrik gula kepala yang dikelola Riska Lutfina itu tergolong modern. “Sudah sejak 2010 kami menggunakan mesin. Sebelumya kami aduk secara manual,” kata Riska kepada koran ini kemarin (25/5).

Produksi gula kelapa tersebut dilakukan hampir setiap hari. Meski menggunakan mesin, Riska tetap membutuhkan tenaga manusia. Kini, dia sudah memiliki 10 karyawan yang memiliki peran berbeda. Mulai ada yang menuangkan adonan, melepas cetakan, sampai mengemas gula kelapa.

Ya, pabrik gula kelapa itu merupakan usaha keluarga. Kali pertama dirintis oleh ayahnya, Muhtarom, pada 2003 lalu. Sebelumnya, sang ayah berprofesi sebagai petani nira.

Mulanya, produksi gula dilakukan dalam skala kecil. Tujuannya untuk dijual ke warga sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, permintaan semakin meningkat. Dia pun meningkatkan kapasitas produksinya.

Di samping itu, dia juga mengambil gula kelapa dari petani lain untuk memenuhi permintaan. Sebab, jika dikerjakan sendiri tidak mampu karena keterbatasan tenaga. “Ayah waktu itu juga menjadi pengepul,” ungkap perempuan 23 tahun ini.

Tahun ke tahun, pabriknya semakin berkembang. Kini, dia memiliki empat tempat produksi. Masing-masing tempat produksi mampu menghasilkan rata-rata 5 kuintal gula per hari. “Kalau ditotal rata-rata bisa memproduksi kurang lebih 2 ton per harinya,” ujar Riska.

Meski mulai banyak pesaing, pabrik gula milik Riska tetap eksis dan mampu bersaing. Bahkan, dia mengeklaim bahwa pabriknya menjadi salah satu pabrik gula kelapa terbesar di Kecamatan Nglegok. Kini dia mempekerjakan 10 karyawan.

Setiap tempat produksi digarap oleh 2-3 orang. Selama ini, bahan utamanya diperoleh dari warga desa setempat. Pasalnya, sebagian besar warga di Desa Dayu bekerja sebagai petani nira. “Hasil dari nderes-nya itu di jual ke pabrik saya,” tutur perempuan ramah ini.

Produksi gula kelapa mulai berlangsung pukul 07.00 hingga 16.00. Sejauh ini tidak ada kendala serius yang menghambat proses produksi. Hanya, jika ada pemadaman listrik, proses produksi terhambat. Sebab, pengadukan gulanya menggunakan mesin. Untuk mengatasi kendala tersebut, Riska harus menggunakan genset. Apalagi, ketika ada pesanan banyak dan produksi gula belum mencukupi.

Sebagai pengepul, Riska menjual dua jenis gula yakni gula sayur kelapa dan gula sayur tebu. Bahan gula sayur kelapa dari gula putih dan gula kelapa yang masuk tingkatan B atau warna dan rasanya kurang bagus, kemudian dimasak ulang. “Sedangkan gula sayur tebu, bahannya dari campuran gula putih dan gula tebu. Saya hanya mengambil dari produsen. Tidak mengolah sendiri,” terangnya.

Dari dua jenis gula tersebut, Riska hanya memproduksi gula sayur kelapa. Untuk harga, dia membanderol gula kelapanya Rp 15.500 per kilogram. Harga tersebut termasuk normal. Namun, ketika harga naik bisa mencapai Rp 20 ribu per kilogram. “Karena bahan bakunya sulit diperoleh. Jumlah produksi kelapa dari petani sedikit,” tandasnya. (*/c1/sub)

KABUPATEN BLITAR – Gula kelapa menjadi produk andalan sebagian warga Desa Dayu, Kecamatan Nglegok. Salah satunya adalah Riska Lutfina. Bersama keluarga, dia mengelola pabrik gula kelapa yang sudah berjalan kurang lebih 20 tahun.

Memasuki ruang produksi, aroma khas gula kelapa langsung tercium. Beberapa orang tampak sibuk menuangkan adonan gula kelapa yang masih panas itu ke cetakan. Uap mengepul memenuhi ruang produksi berukuran sekitar 4×5 meter itu.

Ada empat ruang produksi kelapa. Semuanya dilengkapi mesin pengaduk adonan. Pabrik gula kepala yang dikelola Riska Lutfina itu tergolong modern. “Sudah sejak 2010 kami menggunakan mesin. Sebelumya kami aduk secara manual,” kata Riska kepada koran ini kemarin (25/5).

Produksi gula kelapa tersebut dilakukan hampir setiap hari. Meski menggunakan mesin, Riska tetap membutuhkan tenaga manusia. Kini, dia sudah memiliki 10 karyawan yang memiliki peran berbeda. Mulai ada yang menuangkan adonan, melepas cetakan, sampai mengemas gula kelapa.

Ya, pabrik gula kelapa itu merupakan usaha keluarga. Kali pertama dirintis oleh ayahnya, Muhtarom, pada 2003 lalu. Sebelumnya, sang ayah berprofesi sebagai petani nira.

- Advertisement -

Mulanya, produksi gula dilakukan dalam skala kecil. Tujuannya untuk dijual ke warga sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, permintaan semakin meningkat. Dia pun meningkatkan kapasitas produksinya.

Di samping itu, dia juga mengambil gula kelapa dari petani lain untuk memenuhi permintaan. Sebab, jika dikerjakan sendiri tidak mampu karena keterbatasan tenaga. “Ayah waktu itu juga menjadi pengepul,” ungkap perempuan 23 tahun ini.

Tahun ke tahun, pabriknya semakin berkembang. Kini, dia memiliki empat tempat produksi. Masing-masing tempat produksi mampu menghasilkan rata-rata 5 kuintal gula per hari. “Kalau ditotal rata-rata bisa memproduksi kurang lebih 2 ton per harinya,” ujar Riska.

Meski mulai banyak pesaing, pabrik gula milik Riska tetap eksis dan mampu bersaing. Bahkan, dia mengeklaim bahwa pabriknya menjadi salah satu pabrik gula kelapa terbesar di Kecamatan Nglegok. Kini dia mempekerjakan 10 karyawan.

Setiap tempat produksi digarap oleh 2-3 orang. Selama ini, bahan utamanya diperoleh dari warga desa setempat. Pasalnya, sebagian besar warga di Desa Dayu bekerja sebagai petani nira. “Hasil dari nderes-nya itu di jual ke pabrik saya,” tutur perempuan ramah ini.

Produksi gula kelapa mulai berlangsung pukul 07.00 hingga 16.00. Sejauh ini tidak ada kendala serius yang menghambat proses produksi. Hanya, jika ada pemadaman listrik, proses produksi terhambat. Sebab, pengadukan gulanya menggunakan mesin. Untuk mengatasi kendala tersebut, Riska harus menggunakan genset. Apalagi, ketika ada pesanan banyak dan produksi gula belum mencukupi.

Sebagai pengepul, Riska menjual dua jenis gula yakni gula sayur kelapa dan gula sayur tebu. Bahan gula sayur kelapa dari gula putih dan gula kelapa yang masuk tingkatan B atau warna dan rasanya kurang bagus, kemudian dimasak ulang. “Sedangkan gula sayur tebu, bahannya dari campuran gula putih dan gula tebu. Saya hanya mengambil dari produsen. Tidak mengolah sendiri,” terangnya.

Dari dua jenis gula tersebut, Riska hanya memproduksi gula sayur kelapa. Untuk harga, dia membanderol gula kelapanya Rp 15.500 per kilogram. Harga tersebut termasuk normal. Namun, ketika harga naik bisa mencapai Rp 20 ribu per kilogram. “Karena bahan bakunya sulit diperoleh. Jumlah produksi kelapa dari petani sedikit,” tandasnya. (*/c1/sub)


Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/