KABUPATEN BLITAR – Cukup banyak bukti sejarah penyebaran Islam di Blitar. Salah satunya, Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Maftahul Uluum. Ini menjadi salah satu ponpes tertua yang hingga kini masih aktif.
Banyaknya pepohonan membuat udara terasa sejuk saat tiba di Ponpes Salafiyah Maftahul Uluum. Yakni, di Desa Jatinom, Kecamatan Kanigoro. Pondok tersebut menjadi salah satu saksi bisu penyebaran Islam di Kabupaten Blitar. Sebab, sudah berdiri sejak 1868 silam.
Ponpes Salafiyah Maftahul Uluum pernah menjadi tempat pelarian para prajurit Pangeran Diponegoro. Hal ini juga diungkapkan salah seorang pengasuh ponpes, Ahmad Khubby. “Setelah Pangeran Diponegoro tertangkap, banyak prajurit yang lari ke sini (Ponpes Salafiyah Maftahul Uluum, Red),” ujarnya.
Gus Bobby –sapaannya- menceritakan, dalam pelariannya itu, para prajurit tetap berkomunikasi dengan pimpinan. Salah satunya dengan pohon sawo yang ada di depan gerbang pondok. “Kalau ada pohon sawo, artinya tempat tersebut menjadi pelarian prajurit Pangeran Diponegoro,” katanya.
Dia melanjutkan, Kiai Bukhori berasal dari Kulonprogo, Jogjakarta. Setelah kalah dalam Perang Jawa, lantas menyelamatkan diri ke timur. Setelah singgah di beberapa tempat, memutuskan bermukim di Blitar. Kemudian menikahi Khadijah, putri KH Hasan Mustar atau KH Qomarudin pada 1886. “Selanjutnya, beliau mendirikan pondok pesantren (Salafiyah Maftahul Uluum, Red) tersebut,” jelasnya.
Pria berkacamata itu memaparkan, pemerintah Kolonial Belanda menangkap Kiai Bukhori pada 1928. Penangkapan tersebut terjadi saat pemberontakan SI (Sarikat Islam) Merah, November 1926. “Hingga kini masih menelusuri perjuangan dan peran Kiai Bukhori dalam pemberontakan 1926,” paparnya.
Sejak saat itu, Kiai Bukhori menjalani hukuman pengasingan ke Pulau Banda Neira, Maluku. Dia telah berusia 75 tahun. Oleh karena itu, putra Kiai Bukhori yakni Kiai Shofwan, meminta izin kepada Belanda untuk menyusul ayahnya. “Namun, anaknya baru bisa menyusul setelah tiga tahun berikutnya, yakni 1931,” ujar Gus Bobby yang juga berprofesi sebagai dosen.
Selanjutnya, Kiai Bukhori menjalani masa hukuman selama 10 tahun. Dia kembali ke Blitar pada 1938. Kala itu, dia membawa biji pala untuk ditanam di depan rumah. Hingga kini, pohon pala itu masih tumbuh dan belum diganti dengan tanaman baru.
Kiai Bukhori tak pernah mau menggunakan piring keramik. Sebab, dia menganggap piring tersebut menyimbolkan kolonialisme Belanda. Karena itulah selalu menggunakan batok kelapa sebagai tempat makan. “Menurut dia (Kiai Bukhori, Red), itu sebagai wujud perlawanan kepada bangsa kolonial,” beber pria ramah itu.
Bobby menyebut masih banyak benda peninggalan yang tersimpan di Ponpes Salafiyah Maftahul Uluum. Di antaranya, piring, furnitur rumah, beduk masjid, dan lain sebagainya. “Benda peninggalan tersebut masih ada yang bisa digunakan hingga sekarang,” akunya.
Salah satunya, beduk yang berada di barat masjid. Perawatan beduk dilakukan setiap waktu. Tujuannya agar keasliannya tetap terjaga. “Biasanya kami hanya mengganti kulit beduk jika sudah mulai rusak,” akunya.
Sebenarnya, sudah ada beduk baru yang berukuran lebih besar. Itu bukan untuk menggantikan beduk lama yang jelas lebih bernilai sejarah, melainkan hanya sebagai cadangan. Penggunannya pun dilakukan bergantian.
Pria berpeci hitam itu lantas berjalan ke dalam masjid. Dia menunjukkan beberapa ornamen masjid dan rumah joglo, asli peninggalan masa Pengeran Diponegoro. Pengelola ponpes memang berusaha menjaga keaslian, meski harus renovasi. Penambahan fasilitas juga dilakukan untuk menunjang kebutuhan.
Rencananya, ada museum di ponpes tersebut. Kini mulai renovasi untuk pengadaan. Semua benda peninggalan sejarah akan diletakkan di rumah joglo. Sebab, rumah tersebut menjadi tempat tinggal kiai kala itu. Selain itu, agar benda bersejarah tidak berserakan dan hilang. “Kami masih mengumpulkan dana untuk bisa melanjutkan pengadaan museum ini,” tandasnya. (*/c1/wen)