Di tengah pandemi Covid-19, tak menyurutkan semangat Didit Rendra untuk tetap produktif. Mengalami paceklik sebagai pelatih drumband membuatnya getol menjadi perajin ukir kaca. Dengan ini justru membantunya tetap bertahan meski ekonomi sedang sulit akibat Covid-19.
ANANIAS AYUNDA PRIMASTUTI, Kedungwaru, Radar Tulungagung
“Ngungg…Ngungggg…”suara kaca diukir terdengar samar-samar dari teras kediaman Didit Rendra di Desa Bulusari, Kecamatan Kedungwaru. Melihat kedatangan Koran ini, Didit yang saat itu sedang sibuk memegang mini grinder atau bur mini seketika mematikan mesinnya. “Mangga pinarak (silakan duduk), ini kurang finishing saja. Setelah itu tinggal pasang lampu,” sapanya sembari menunjukkan sebuah papan kaca berukuran 10R yang sedari tadi dipegangnya.
Didit yang merupakan seorang pelatih drumband ini sekaligus seorang perajin ukir kaca. Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir 9 bulan ini membuatnya terpaksa harus menghentikan kegiatannya di bidang musik, terutama melatih kegiatan drumband di sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia pun memilih untuk serius menggeluti bisnis ukir kaca yang telah dirintisnya sejak 2017 silam. “Sebenarnya mulai ukir kaca sudah 2017 lalu, tapi saat itu hanya sampingan saja karena memang fokus utama pelatih drumband. Sekarang karena pandemi justru sebaliknya, ukir kaca ini yang laris,” jelasnya.
Pria 26 tahun ini sangat bersyukur karena masih dapat mendulang rezeki meski sedang dilanda pandemi Covid-19. Ini karena banyak sekolah maupun perguruan tinggi tetap melaksanakan wisuda secara daring (online). Sehingga pesanan ukir kaca untuk kado perayaan kelulusan tetap ada. Bahkan, dia mengaku pendapatannya meningkat sejak adanya pandemi ini.
Selain untuk kado perayaan kelulusan, ukiran kaca hasil produksinya juga kerap digunakan sebagai kado ulang tahun maupun anniversary. “Alhamdulilah kok malah rezekinya di sini. Karena pandemi, banyak yang suka pesan secara online kemudian tinggal dikirim paket. Jadi lebih praktis juga dan tetap menjaga jarak atau mengurangi kontak dengan banyak orang,” urainya.
Untuk proses produksi, Didit memerlukan waktu sekitar satu hingga dua hari untuk satu frame kaca ukir. Ini karena semua dilakukan manual dan hanya dikerjakan sendiri. Untuk tahap produksi, dimulai dari desain foto klien pada kertas. Desain ini nantinya akan menjadi pola untuk membuat ukiran.
Untuk proses mengukir, Didit mengaku hampir tidak menemukan kendala sama sekali. Namun diperlukan ketelatenan dan kesabaran untuk menyelesaikan proses ini. Terlebih jika desain foto memiliki detail yang rumit. “Apalagi saat mengukir bagian mata atau bibir karena itu kunci dari foto agar terlihat hidup dan menyerupai asli. Jadi harus telaten,” ungkapnya.
Usai mengukir, langkah selanjutnya adalah membersihkan bagian kaca agar detail sketsa tampak jelas. Kemudian ditambah dengan lampu LED string dan dibingkai. Ini agar gambar terlihat lebih jelas dan dapat menyala di ruangan minim cahaya (glow in the dark). Dia mengaku ide memigora ukiran kaca ini dia dapat secara otodidak. “Semua saya coba-coba sendiri sembari juga mencari referensi di media sosial,””terangnya.
Untuk pemasaran, warga Desa Bulusari, Kecamatan Kedungwaru, ini telah melanglang buana hingga Jakarta, Semarang, dan Kalimantan. Sementara untuk harga, dia pun mematok untuk satu frame ukir kaca mencapai Rp 200 hingga Rp 600 ribu per bingkai. (*)