23.5 C
Tulungagung
Friday, June 9, 2023

Di Sela Kesibukan Jadi PNS, Djarno Selami Ilmu Pranatacara

BOYOLANGU, Radar Tulungagung – Sejak kecil, Djarno memang suka dengan budaya. Meski demikian, dia tidak sampai belajar secara berkelanjutan untuk mendalami lebih lama karena masih sekolah.

Setelah lulus dari sekolah menengah atas (SMA) tahun 1992, dia mulai terjun langsung dan memberanikan diri untuk belajar pranatacara. “Ketika itu hanya sebatas diminta membantu tetangga maupun keluarga,” tandas warga Desa Beji, Kecamatan Boyolangu ini.

Lambat laun, dengan sukarela, dia selalu memenuhi permintaan pranatacara dalam pesta pernikahan. Hal itu membuatnya semakin dikenal di lingkungan keluarga, teman, maupun tetangga. “Dulu hanya sekadar berani dan belajar otodidak, sebatas mengisi waktu luang  ketika longgar,” ungkapnya.

Di tahun 1996, ketika bertugas sebagai PNS di kantor pembantu bupati di Campurdarat, dia semakin tertarik untuk menambah ilmu. Gajinya saat itu dibelikan buku tentang pranatacara dengan versi berbeda-beda sebagai pembanding.

Dengan adanya literasi tersebut diharapkan akan menambah referensi untuk diterapkan. Alhasil, ketika di lapangan bisa lebih percaya diri meskipun belajar secara mandiri.

Pria yang juga menjabat Kabid Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dispendukcapil Tulungagung itu ketika musim pengantin selalu menerima permintaan pranatacara, meski di lingkup terbatas.  Lama di dunia tersebut, dia hingga pernah ke luar kota untuk diminta teman dan keluarga menjadi pembawa acara.

Tak puas dengan pengalaman tersebut hingga puluhan tahun, dia akhirnya terpikirkan untuk kembali memperdalam ilmu tersebut ke orang yang lebih kompeten atau guru. “Dulu sempat cari-cari tempat untuk belajar lagi, tapi mungkin kerena sibuk sehingga terabaikan,” tandas bapak dua anak ini.

Sejak enam bulan lalu, dia bergabung di Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) Tulungagung di Taman Budaya. Tiap Minggu pukul 08.30 sampai pukul 13.00, dia belajar menambah ilmu. Berbagai materi diberikan sebagai dasar untuk pranatacara, pidato dalam bahasa Jawa, karawitan, hingga gamelan.

Di komunitas tersebut, ada berbagai latar belakang pekerjaan sehingga menambah lingkup pertemanannya. “Bisa latihan bersama dengan satu komunitas sebagai langkah pembelajaran,” kata pria 50 tahun ini.

Di samping teman, hasil dari mengikuti latihan di Permadani ini, dia mendapat adanya beberapa kosakata bahasa Jawa yang selama ini ternyata kurang tepat dalam pemahamannya. Misal, untuk kata “kawulo”, ketika dulu belum belajar masih sering digunakannya. Namun, setelah menimba ilmu dari guru, dia mengetahui bahwa penggunaan kata itu tidak tepat, dan cukup menggunakan kata “kulo”. Kawulo ini untuk hamba dengan Tuhan. Contoh-contoh kata seperti itu bisa diketahui penggunaannya dengan tepat jika ada guru,”ujarnya.

Selama enam bulan belajar di Permadani, tiba waktu untuk membuktikan kemampuannya selama belajar. Ada tes tulis, wawancara, hingga praktik. Dia dinyatakan lulus pada 28 Februari lalu.

Ilmu yang sudah didapatkan akan segera diterapkan sebaik mungkin. Sebab, itu sebagai langkah untuk melestarikan budaya orang Jawa yang memiliki filosofi tinggi.

Dia tak segan untuk membantu ketika ada permintaan pranatacara di luar jam kerja kedinasan. “Ada kepuasan jika kita bisa membantu. Pihak pemilik hajat senang dan kita bisa merasakan kebahagiaan,” ungkapnya.                                      

Kini, dia sebagai warga Permadani akan terus memegang teguh sesanti tri niti yogya. Pertama, hamemayu hayuning sasama, artinya berusaha dan berupaya untuk kesejahteraan  karaharjan bersama sesama makhluk. Kedua, dados juru ladosing bebrayan, artinya bisa menjadi abdi atau bisa melayani dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, sadhengah pakaryan sageda tansah ngremenaken tiyang sanes, yakni semua tindak dan tingkah laku  atau yang dikerjakan sebisa mungkin dapat menyenangkan dan membahagiakan orang lain. (*/c1/din)

 

 

BOYOLANGU, Radar Tulungagung – Sejak kecil, Djarno memang suka dengan budaya. Meski demikian, dia tidak sampai belajar secara berkelanjutan untuk mendalami lebih lama karena masih sekolah.

Setelah lulus dari sekolah menengah atas (SMA) tahun 1992, dia mulai terjun langsung dan memberanikan diri untuk belajar pranatacara. “Ketika itu hanya sebatas diminta membantu tetangga maupun keluarga,” tandas warga Desa Beji, Kecamatan Boyolangu ini.

Lambat laun, dengan sukarela, dia selalu memenuhi permintaan pranatacara dalam pesta pernikahan. Hal itu membuatnya semakin dikenal di lingkungan keluarga, teman, maupun tetangga. “Dulu hanya sekadar berani dan belajar otodidak, sebatas mengisi waktu luang  ketika longgar,” ungkapnya.

Di tahun 1996, ketika bertugas sebagai PNS di kantor pembantu bupati di Campurdarat, dia semakin tertarik untuk menambah ilmu. Gajinya saat itu dibelikan buku tentang pranatacara dengan versi berbeda-beda sebagai pembanding.

Dengan adanya literasi tersebut diharapkan akan menambah referensi untuk diterapkan. Alhasil, ketika di lapangan bisa lebih percaya diri meskipun belajar secara mandiri.

- Advertisement -

Pria yang juga menjabat Kabid Pelayanan Pendaftaran Penduduk Dispendukcapil Tulungagung itu ketika musim pengantin selalu menerima permintaan pranatacara, meski di lingkup terbatas.  Lama di dunia tersebut, dia hingga pernah ke luar kota untuk diminta teman dan keluarga menjadi pembawa acara.

Tak puas dengan pengalaman tersebut hingga puluhan tahun, dia akhirnya terpikirkan untuk kembali memperdalam ilmu tersebut ke orang yang lebih kompeten atau guru. “Dulu sempat cari-cari tempat untuk belajar lagi, tapi mungkin kerena sibuk sehingga terabaikan,” tandas bapak dua anak ini.

Sejak enam bulan lalu, dia bergabung di Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani) Tulungagung di Taman Budaya. Tiap Minggu pukul 08.30 sampai pukul 13.00, dia belajar menambah ilmu. Berbagai materi diberikan sebagai dasar untuk pranatacara, pidato dalam bahasa Jawa, karawitan, hingga gamelan.

Di komunitas tersebut, ada berbagai latar belakang pekerjaan sehingga menambah lingkup pertemanannya. “Bisa latihan bersama dengan satu komunitas sebagai langkah pembelajaran,” kata pria 50 tahun ini.

Di samping teman, hasil dari mengikuti latihan di Permadani ini, dia mendapat adanya beberapa kosakata bahasa Jawa yang selama ini ternyata kurang tepat dalam pemahamannya. Misal, untuk kata “kawulo”, ketika dulu belum belajar masih sering digunakannya. Namun, setelah menimba ilmu dari guru, dia mengetahui bahwa penggunaan kata itu tidak tepat, dan cukup menggunakan kata “kulo”. Kawulo ini untuk hamba dengan Tuhan. Contoh-contoh kata seperti itu bisa diketahui penggunaannya dengan tepat jika ada guru,”ujarnya.

Selama enam bulan belajar di Permadani, tiba waktu untuk membuktikan kemampuannya selama belajar. Ada tes tulis, wawancara, hingga praktik. Dia dinyatakan lulus pada 28 Februari lalu.

Ilmu yang sudah didapatkan akan segera diterapkan sebaik mungkin. Sebab, itu sebagai langkah untuk melestarikan budaya orang Jawa yang memiliki filosofi tinggi.

Dia tak segan untuk membantu ketika ada permintaan pranatacara di luar jam kerja kedinasan. “Ada kepuasan jika kita bisa membantu. Pihak pemilik hajat senang dan kita bisa merasakan kebahagiaan,” ungkapnya.                                      

Kini, dia sebagai warga Permadani akan terus memegang teguh sesanti tri niti yogya. Pertama, hamemayu hayuning sasama, artinya berusaha dan berupaya untuk kesejahteraan  karaharjan bersama sesama makhluk. Kedua, dados juru ladosing bebrayan, artinya bisa menjadi abdi atau bisa melayani dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, sadhengah pakaryan sageda tansah ngremenaken tiyang sanes, yakni semua tindak dan tingkah laku  atau yang dikerjakan sebisa mungkin dapat menyenangkan dan membahagiakan orang lain. (*/c1/din)

 

 


Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

/