Kota, Radar Trenggalek – Nama Dwi Andi Rono Riki mungkin asing bagi telinga masyarakat di Bumi Menak Sopal, juga bagi kalangan penggemar otomotif. Namun, lain halnya dengan Andi Gleweh, pastinya tidak asing bagi penggemar road race. Bukan hanya di Trenggalek, melainkan di Jawa Timur. Ya, nama tersebut adalah sebutan dari Dwi Andi Rono Riki yang telah memiliki segudang prestasi pada dunia balap.
Ternyata ketenaran nama tersebut bukan didapatnya dengan mudah, melainkan dengan pengorbanan. Sebab, ketika masih muda dulu, dia harus merelakan waktu bermainnya untuk melaksanakan latihan menunggangi si kuda besi tersebut. “Sejak awal karir, berbagai kelas balap motor telah saya ikuti. Namun untuk saat ini saya biasanya turun di kelas bebek 2 tak 125 cc dan bebek 2 tak 116 cc ex rider, yang selalu dipersiapkan jauh-jauh hari ketika mengikuti suatu event,” ungkap Andi Gleweh kepada Jawa Pos Radar Trenggalek.
Hal tersebut bukannya tanpa alasan, sebab untuk menjadi seorang pembalap sepeda motor butuh perjuangan yang panjang. Selain dukungan dana, butuh keberanian dan tekad kuat, terutama untuk mengendarai motor di lintasan agar bisa menorehkan berbagai juara. “Semula, pada saat masih SD hingga SMP, saya pernah menjadi atlet sepeda downhill, tapi lama-kelamaan mulai tertarik pada dunia otomotif, dan menekuninya hingga saat ini,” tuturnya.
Dengan alasan itulah, semenjak 2003 lalu, dia beralih profesi dari atlet sepeda downhill menjadi atlet balap motor. Tak pelak, semenjak saat itu dia terus berlatih agar bisa menguasai tunggangannya. Dalam latihan, dia selalu fokus mengenai jenis kendaraan yang dinaiki saat itu. Sebab, biasanya dalam setiap balapan, dia mengikuti nomor dua jenis kendaraan yaitu matik dan dua tak. Dengan begitu, dipastikan karakteristik kedua jenis motor tersebut berbeda.
Latihan rutin biasanya dilakukan pada sore hari, bukan hanya di sirkuit Trenggalek, melainkan di sirkuit yang nantinya ada kejuaraan. Itu agar dia lebih mengenal karakteristik sirkuit sebelum latihan resmi di sirkuit tersebut dilakukan. “Yang terpenting bagi pembalap, ketika berlatih atau bertanding agar tetap fokus dan jangan takut untuk terjatuh, sebab jatuh bagi pembalap merupakan reflek yang bisa saja terjadi tanpa disangka-sangka,” kata warga Kelurahan Tamanan, Kecamatan Trenggalek ini.
Tak pelak, ketelatenan tersebut membuat prestasinya di dunia balap motor mulai dari Kejurda hingga Kejurnas sudah tidak bisa dihitung. Untuk itu, tidak ada lima tahun ketika menjadi atlet balap, dia hanya boleh mengikuti kejuaraan di kelas Sidi dan bersaing dengan pembalap besar dalam negeri yang lainnya. Ternyata, kendati mengikuti balapan dengan saingan yang lebih berat lagi, membuatnya lebih termotivasi hingga berhasil meraih beberapa kali gelar tiap kejuaraan.
Sementara itu, ketika beraksi di lintasan, Gleweh -sapaan akrabnya- kendati terus memacu kendaraannya juga bermain aman. Namun, dalam hal ini disesuaikan dengan karakter sirkuit, seperti contoh untuk karakter sirkuit yang tidak terlalu panjang, jadi cukup aman jika racing line tetap terjaga. Ketika menemui sirkuit berkarakter seperti itu biasanya Gleweh meminta karakter motor yang fokus di putaran bawah dan menengah. Dengan begitu, sebisa mungkin keluar dan masuk tikungan sangat berperan penting. Sementara untuk sirkuit berkarakter panjang, settingan tunggangan berbeda pula. “Mungkin di sini (Trenggalek, Red) saya merupakan pembalap yang paling senior, sebab usia telah menginjak 36 tahun, dan belum ada di pikiran saya untuk pensiun,” jelas suami dari Nyke Yanuar Ryshandy ini. (*/c1/jaz)