Bulan Ramadan adalah bulan diwajibkannya bagi setiap mukmin untuk menjalankan ibadah puasa. ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa … dalam beberapa hari yang tertentu…” (QS. Al-Baqarah: 183-184).
Puasa memiliki pengertian menahan diri dari makan, minum, dan segala keinginan syahwat, serta dari segala perkara yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Inti dari puasa adalah pengendali diri dari memperturutkan hawa nafsu yang mengajak pada kesenangan duniawi semata. Di sini ibadah puasa sebenarnya menjadi wahana untuk mengasah kepekaan kita terhadap penderitaan sesama.
Dengan puasa kita diwajibkan untuk menahan rasa lapar dan dahaga. Hal ini sebenarnya untuk mengajak kita senantiasa berempati dan ikut merasakan rasanya orang yang kekurangan sehingga dia selalu kelaparan dan kehausan. Kita masih beruntung hanya menahan lapar dan dahaga dari Subuh sampai Magrib tiba, selepas itu segala hidangan dapat kita nikmati. Sementara di belahan bumi lain, ada yang hampir semua penduduknya selalu dirundung kelaparan dan diliputi dahaga. Punya keinginan untuk makan, tetapi tidak ada yang bisa dimakan. Juga tidak punya sesuatu untuk membeli atau mendapatkan makanan atau minuman. Bahkan, ada yang tidak merasa jijik meminum air seni hewan hanya sekadar untuk melepas dahaga yang mendera. Mereka tak segan memungut dan memakan sisa-sisa makanan yang terbuang di tong sampah, demi membuat dinding perut agar tidak lengket dengan punggung. Mereka hidup dalam derita dan kemiskinan yang seolah tiada akhir.
Dalam konteks inilah, rasa lapar dan haus dalam ibadah puasa berperan untuk mempertajam rasa kepedulian dan meningkatkan solisaritas kita terhadap penderitaan sesama, serta melatih kesederhaan hidup agar kita tidak berlebihan dalam memenuhi nafsu perut. Alangkah tidak elok jika begitu waktu berbuka, kita menyantap aneka makanan dan minuman yang tersedia. Sangat berdosa kita, jika dalam buka puasa kita hanya memperturutkan nafsu perut dan memenuhi perut kita dengan beragam hidangan yang kita kumpulkan di meja jauh sebelum waktu berbuka. Sementara di sisi lain banyak saudara kita hidup dalam kelaparan yang tak kunjung berakhir. Itu bukanlah sifat orang yang beriman. Orang beriman seyogianya memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesamanya, hingga dia tak akan berangkat tidur sebelum memastikan orang-orang di kiri kanannya tidak dalam kekurangan. “Bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang sedangkan tetangganya kelaparan”. (HR al-Bukhari, dan al-Baihaqi, berkata Syaikh al-Albaniy: Shahih).
Cukuplah bagi kita dalam mengisi perut sebagaimana yang telah disabdakan Nabi SAW. Sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk diisi minuman, sepertiga untuk sirkulasi napas kita. Jangan sampai kita penuhi perut ini dengan aneka makanan dan minuman hingga tidak menyisakan ruang untuk pernapasan (HR. Al-Baihaqi). Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbagi sehingga sedikit makanan yang kita makan cukup untuk dimakan dua orang cukup untuk tiga orang dan seterusnya. Rasulullah SAW. bersabda: “Makanan dua orang itu cukup untuk tiga orang dan makanan tiga orang cukup untuk empat orang.” (Shahih Muslim dari Abu Hurairah) Hadis tersebut mengisyaratkan bahwa agar kita tidak perlu berlebihan ketika makan. Hendaknya kita selalu ingat bahwa di luar diri kita masih ada orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita untuk berbagi dengan mereka.
Momen Ramadan dengan kewajiban puasanya, bukan sekadar tidak makan dan tidak minum di siang hari, dan kemudian malam harinya menjadi ajang balas dendam untuk memperturutkan hasrat terhadap aneka makanan dan minuman. Namun, puasa pada dasarnya mengajarkan kita untuk lebih mempedulikan, memperhatikan, dan segera menutupi kekurangan saudara kita. Sesungguhnya dalam pelaksanaan ritual puasa hakikatnya adalah mewujudkan kesalihan sosial, yang ke depannya kesalehan tersebut diharapkan dapat termanifestasikan dalam kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri, dan meningkatnya rasa kepedulian dan solidaritasnya terhadap kehidupan sesama. Dengan demikian, seorang pelaku puasa akan tampil sebagai sosok yang mudah berempati terhadap penderitaan sesama, dan segera mengulurkan tangan demi mengurangi beban derita sesamanya. Rasulullah SAW bersabda, “Manusia yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Dan seutama-utama amal adalah memberikan kebahagiaan kepada seorang mukmin, melunasi hutangnya, memenuhi kebutuhan (rasa lapar)-nya dan menghilangkan kesusahannya”. (HR al-Baihaqiy). Di sini, puasa Ramadan benar-benar menjadi batu asah yang mempertajam kepekaan kita terhadap persoalan-persoalan sosial di sekitar kita. (*)
*)Penulis adalah Penyuluh Agama Islam Fungsional Kemenag Kabupaten Blitar